+62811-5900-333
lazdpukaltim@gmail.com

POJOK IMAN

Hukum Menjaga Amanah dalam Islam

Hukum Menjaga Amanah dalam Islam

Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa kemudian ia berpaling, maka cerita itu menjadi amanah.” (HR At-Turmudzi dari Jabir bin Abdullah).

Amanah merupakan salah satu sifat mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ajaran untuk bersifat amanah ini sejalan dengan perintah Allah di surah An Nisa ayat 58 yang artinya:

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang Memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

Nabi Muhammad juga pernah bersabda tentang amanah, yang diriwayatkan oleh Ahmad, “Tidak ada iman yang sempurna bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan tidak ada agama yang sempurna bagi orang yang tidak menepati janji”.

Lalu, apakah amanah itu? Amanah memiliki arti dipercaya atau terpercaya. Sementara itu, jika dilihat dari sisi aqidah dan syariat agama, amanah adalah segala sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dan berkaitan dengan orang lain atau pihak lain. Amanah bisa berupa benda, pekerjaan, perkataan, ataupun kepercayaan. Maka, amanah bisa berbentuk apa aja yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya.

Sebagai contoh, dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar cerita dari rekan ataupun sahabat tentang diri mereka dan juga orang lain. Sadar atau tidak, sebenarnya cerita-cerita tersebut menjadi amanah buat kita. Karena dipandang sebagai amanah, itu menjadi rahasia yang harus dijaga. 

Setiap cerita yang sampai kepada kita pada dasarnya semua adalah amanah. Tak hirau apakah itu benar atau salah. Keduanya harus dirahasiakan, dalam arti tidak memberitahukan kepada orang yang tidak berhak untuk mengetahuinya.

Apalagi, jika cerita itu menyangkut hal negatif. Jika cerita itu benar, berarti itu merupakan suatu aib. Tentu, ia akan merasa malu manakala orang lain mengetahuinya. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk tidak menyebarluaskan aib saudara kita. Rasulullah bersabda: 

من ستر عورة أخيه المسلم ستر الله عورته يوم القيامة 

Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat kelak.” (HR Ibnu Majah).

Adapun jika cerita itu tidak benar, berarti itu adalah kebohongan. Membicarakan tentangnya sama saja kita telah menyebarkan berita dusta. Dan, ini adalah bentuk pengkhianatan yang paling besar. Karena, kalau pun benar adanya, ia disebut berkhianat sebab ia menceritakan apa yang seharusnya tidak diceritakan. Apalagi kalau tidak benar adanya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda: 

كَبُرَتْ خِيَانَةً أَنْ تُحَدِّثَ أَخَاكَ حَدِيثًا هُوَ لَكَ بِهِ مُصَدِّقٌ وَأَنْتَ لَهُ بِهِ كَاذِبٌ

Khianat terbesar adalah ketika engkau membicarakan saudaramu perkara yang bagimu itu menganggap dirimu jujur, padahal baginya dirimu adalah pembohong.” (HR Bukhari).

Oleh karenanya, untuk menghindari terbuka pintu-pintu dosa dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat lidah, lebih baik memilih diam daripada harus terjebak pada dusta. Inilah cara menjaga rahasia tersebut. Dan, orang yang tidak bisa menjaga rahasia, hakikatnya telah terhimpun tiga tanda kemunafikan dalam dirinya. Rasulullah SAW bersabda: 

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkari, dan jika dipercaya ia khianat.” (HR Bukhari).

Pandangan Islam tentang Amanah

Sebagai umat Islam, kita pasti telah mengetahui bahwa agama kita mengajarkan untuk menjaga amanah yang kita terima dari orang lain. Bahkan, Islam mewajibkan kita untuk memelihara amanah, yaitu dengan bersikap jujur dan bisa dipercaya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Kamu sekalian pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung-jawabannya tentang apa yang kamu pimpin, imam (pejabat apa saja) adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawabannya tentang apa yang dipimpinnya, dan orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam lingkungan keluarganya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin, orang perempuan (istri) juga pemimpin, dalam mengendalikan rumah tangga suaminya, dan ia juga akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, dan pembantu rumah tangga juga pemimpin dalam mengawasi harta benda majikannya, dan dia juga akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.” (H.R. Ahmad, Muttafaq ‘alaih, Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Dari hadits tersebut, kita mengetahui bahwa semua manusia adalah pemimpin, yang berarti mereka memiliki amanah yang harus dijaga. Jika seseorang terlihat tidak memiliki sesuatu yang dipimpin, setidaknya dia memimpin dirinya sendiri. Artinya, Allah telah memberi amanah untuk menjaga dirinya dari semua hal yang dilarang Allah.

Kemampuan seseorang menjaga amanah merupakan tolak ukur akan usahanya menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangannya. Tidak hanya untuk segi ibadah, seseorang yang bersifat amanah juga akan memiliki hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Dia akan menjadi bisa dipercaya dan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.

Allah menempatkan amanah sebagai satu akhlak yang memiliki kedudukan sangat special bagi manusia. Bahkan, seseorang yang memiliki sikap amanah bisa menjadi kekasih Allah. Sebaliknya, seseorang yang suka berkhianat sangat dibenci oleh Allah dan akan diperlihatkan kepada seluruh makhluk di hari pembalasan kelak. 

Hal ini tercermin dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila Allah menghimpun seluruh makhluk-Nya, dari generasi terdahulu sampai generasi terakhir ketika kiamat ditegakkan, maka kepada mereka yang berkhianat diberikan sebuah bendera sebagai tanda bahwa mereka adalah pengkhianat.” (H.R. Muslim). 

Amanah yang merupakan sifat yang mulia, merupakan sifat yang wajib untuk dimiliki semua muslim. Tidak hanya terkait dengan hubungannya dengan manusia, tetapi juga bersifat amanah terhadap semua yang diberikan Allah. Dalam surah al Anfal ayat 27 Allah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu menkhianati amanah yang telah dipercayakan keadamu, sedang kamu mengetahui”.

Tidak hanya itu, dalam surah Al Baqarah ayat 283, juga disebutkan tentang kewajiban bersifat amanah:

“Dan jika kamu sedang dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipergang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan-nya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”Wallahua’lam Bisshawab. (hmz)

Sumber: gomuslim

– Kitab Bhulughulmaram, Alquran (Dalam Islam

Read more

Surat al-Kahfi, Fitnah Dajjal, dan Solusinya

 
Surat al-Kahfi, Fitnah Dajjal dan Solusinya
 
 
Banyak hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan keutamaan surat al-Kahfi, antara lain:
 
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ
 
Dari Abu Darda, dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menghafal sepuluh ayat pertama surat al-Kahfi maka dia akan dijaga dari Dajjal (HR: Muslim)
 
 
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من قرأ سورة الكهف كما أنزلت كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة و من قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه
Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan, maka baginya cahaya pada hari Kiamat dari tempat beridirinya hingga Makkah, dan barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhirnya kemudian Dajjal keluar, maka dia tidak akan dapat dikuasainya.(HR: Muslim).
 
عن أبي الدرداء عن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) أنه قال ( من قرأ عشر آيات من آخر سورة الكهف عصم من فتنة الدجال )
Dari Abu Darda, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir surat al-Kahfi, maka ia terlindung dari fitnah Dajjal”
 
 
Hampir seluruh nabi mewasiatkan kepada kaumnya untuk berlindung kepada Allah dari fitnah Dajjal, sebab orang yang mengalami zaman Dajjal akan mendapat ujian iman yang begitu berat. Selain hadits-hadits di atas yang berisi pesan agar kita membaca surat al-Kahfi dan terhindar dari fitnah Dajjal, Rasulullah saw pun menyuruh kita membaca doa perlindungan dari fitnah Dajjal pada saat tahiyat akhir dan sebelum salam dalam shalat-shalat kita.
 
Lalu, apa hubungannya fitnah Dajjal (akhir zaman) dengan surat al-Kahfi sebagai benteng perlindungan dari fitnah Dajjal?
 
 
Dalam surat al-Kahfi terdapat empat kisah:
 
Kisah pertama; tentang sekelompok anak muda yang beriman kepada Allah SWT dan hidup di tengah pemerintahan yang zhalim, mereka menawarkan Islam namun ditolaknya, kemudian mereka dikejar-kejar, lalu berlindung di gua (kahfi) dan tertidur selama 309 tahun, kemudian tatkala bangkit kembali, keadaan negeri berubah jauh dari sebelumnya dan penduduknya telah beriman kepada Allah. (ayat 14-18)
 
 
Kisah Kedua, tentang seorang shohibul Jannatain (pemilik dua kebun) yang telah diberi nikmat Allah, namun mengingkari nikmat itu, dan melupakan Allah serta hari kiamat karena terlena dengan harta meskipun sudah diperingatkan saudaranya.(Ayat 32-42)
 
 
Kisah ketiga, Kisah Nabi Musa as dan Khidr, tatkala Nabi Musa ditanya oleh kaumnya, “Siapakah orang paling alim (pintar) di bumi ini?” Musa menjawab bahwa dirinya-lah orang yang paling pintar di dunia. Kemudian Allah mengingatkan nabi Musa as bahwa ada hamba Allah yang lebih pintar dan alim dari dirinya, yang kemudian Musa as pun memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat Khidr yang berada diantara dua pertemuan laut (Majma’ al-bahrain). Namun setelah menuntut ilmu kepada Khidr, Musa as pun tidak tahan dengan sikap Khidr as.(ayat 62-70)
 
 
Kisah keempat, tentang Zulkarnain seorang raja yang adil dan menebarkan kebenaran ke seluruh negeri-negeri, hingga bertemu dengan suatu kaum yang hampir tidak dapat dimengerti bahasanya. Namun meskipun beliau mempunyai kekuasaan dan kemampuan, dalam melaksanakan tugasnya beliau masih tetap meminta pertolongan dari pihak lain karena ketawadhuannya. “maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka” (ayat 95)
 
 
Keempat kisah di atas mengandung pesan bahwa di dalam kehidupan ini terdapat empat fitnah (ujian) utama:
 
Pertama, fitnah atau ujian memegang teguh agama. Dalam memegang teguh agama dan menegakkannya, sering kali mendapat tantangan, terutama dari kaum mapan, seperti para penguasa. Hal iini telah dialami para pemuda al-Kahfi (ashabul Kahfi), namun Allah telah menyelamatkan mereka.
 
Kedua, fitnah atau ujian harta, hal ini di alami oleh salah seorang pemilik kebun seperti yang disebutkan dalam kisah di atas. Dengan hartanya, dia mengingkari Allah, bahkan mengingkari datangnya hari kiamat. Dia berkata: “dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang,” (ayat 38)
 
Ketiga, fitnah atau ujian ilmu, sehingga seseorang sombong dan mengira dirinya paling pintar serta merendahkan pihak lain, sehingga hilang sifat tawadhu’ dan enggan berkumpul menuntut ilmu bersama yang lain. Hal seperti ini pernah terjadi dalam kisah Nabi Musa as dan Khidr.
 
Keempat, fitnah atau ujian kekuasaan. Dengan kekuasaannya seseorang melakukan apa saja yang diinginkannya, menebar fitnah serta berbuat kezhaliman. Hal ini berbeda sekali dengan kisah Dzulkarnain sang raja yang adil dan bijak dan menebar kebenaran serta keadilan.
 
Nah, empat fitnah, atau ujian inilah yang akan terjadi pada saat datangnya Dajjal. Dajjal akan melakukan kezhaliman berupa pemaksaan orang untuk beriman dan beribadah kepadanya serta melupakan Tuhan Allah swt, kemudian memamerkan kemampuannya melakukan sesuatu yang supranatural di luar kemampuan manusia biasa, sehingga manusia mengimaninya. Ini adalah ujian memegang teguh agama (fitnah al-din).
 
 
Dajjal juga sanggup memenuhi permintaan orang untuk menurunkan hujan di suatu kawasan, dan dapat merubah pada pasir tandus menjadi kawasan yang subur dan rindang. Ini merupakan bentuk fitnah harta (fitnah al-maal)
 
Dajjal juga mampu menebar orang-orang yang dapat memberitakan prediksi-prediksi yang akan terjadi sehingga manusia mempercayainya, Ini merupakan bentuk fitnah ilmu pengetahuan (fitnah al-‘ilm)
 
 
Dan dengan kekuasannya Dajjal pun dapat memaksakan kehendaknya kepada seluruh negeri (fitnah al-sulthoh/kekuasaan). Keempat fitnah ini merupakan fitnah yang dahsyat bagi kaum muslimin di setiap zaman dan tempat. Oleh karena itu Rasulullah saw telah memberi peringatan agar kita membaca surat al-Kahfi, mentadabburinya, serta merenunginya, terutama pada empat kisah di atas.
 
Solusi Untuk Empat Fitnah

Jika hadits Nabi saw di atas menyebutkan bahwa membaca surat al-Kahfi dapat melindungi kita dari fitnah Dajjal, maka sebenarnya perintah itu bukan hanya sekedar membacanya, namun juga mentadabburinya serta melaksanakan isinya. Surat al-Kahfi ini, selain menyampaikan empat bentuk fitnah tadi, ia juga menyampaikan empat solusi bagi terhindarnya atau terlindungnya diri kita dari empat fitnah. Empat solusi itu adalah sebagai berikut:

  1. Solusi dalam menghadapi ujian dalam memegang teguh agama (fitnah al-diin) adalah bersahabat dan bergabung dengan kelompok orang-orang shaleh (al-shuhbah al-shalihah). Sebab bagaimana pun juga lingkungan mempunyai peran dalam menjaga keimanan seseorang. Al-Mar-u ‘ala diini kholilihi (seseorang itu tergantung dengan agama temannya). Para Pemuda Kahfi adalah contoh dalam kisah episode mempertahankan keimanan mereka. Perintah bersabar bergaul dengan kelompok orang-orang sholeh ini ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Kahfi ini pada ayat 28. وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
  2. Solusi dalam menghadapi fitnah harta (fitnah al-maal) adalah menghilangkan rasa ketergantungan pada dunia. Hal ini dilakukan dengan dua cara, yakni dengan memahami hakikat dunia bahwa dunia akan cepat hilang, dan dengan selalu mengingat akhirat. Dalam memahami hakikat dunia yang bersifat singkat ini telah dijelaskan dalan ayat 45: وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنْ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
  3. Solusi dalam menghadapi fitnah ilmu adalah dengan sikap tawadhu, baik kepada Allah maupun kepada guru. Ini dilakukan oleh Musa as saat Khidr mensyaratkan agar Musa bersabar dan tidak banyak bertanya hingga semua dijelaskan. Musa as berkata, قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”
  4. Solusi menghadapi fitnah kekuasaan adalah sikap ikhlas dan rendah diri dihadapan Allah. Bahwa kekuasan yang dimilikinya haruslah diserahkan kepada Allah, serta meyakini bahwa kekausaan itu adalah amanah yang diberikan Allah swt. Sebagaimana Dzulkarnain dengan segala kekuasaannya masih tetap tawadhu’, dia berkata, قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي Dzulkarnain berkata: “Ini adalah rahmat dari Tuhanku” (Al-Kahfi: 97)
Namun, yang terpenting dari semua solusi itu adalah adanya gerak da’wah pada setiap elemen masyarakat. Tidak ada satu profesi muslim pun yang diam untuk dakwah dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Sehingga jika semua komponen melakukan dakwah dan saling mengingatkan, maka kita akan terhindar dari fitnah Dajjal (baca: fitnah akhir zaman). Hal ini dibuktikan dengan empat tokoh dalam empat kisah yang terdapat dalam surat al-Kahfi ini.
  1. Adanya kaum muda yang terus bergerak berdakwah, bahkan berdakwah kepada raja (di level pemerintahan). (kisah Ashabul Kahfi)
  2. Adanya individu yang berdakwah kepada temannya (kisah dua orang sahabat yang mempunyai kebun)
  3. Adanya guru yang berdakwah kepada muridnya dan bukan sekedar mengajar ilmu (kisah Khidr as dan nabi Musa as)
  4. Adanya pemimpin Negara yang berdakwah kepada rakyatnya (kisah Dzulkarnain)
Semoga kita dapat mengamalkan surat al-Kahfi, baik membacanya,, mentadabburinya serta melaksanakan isinya, sehingga kita terhindar dari fitnah akhir zaman yang semakin berat ini. Amin
 
ditulis oleh : Ustadz M. Jamhuri, Lc.
 

Read more

Islam dan Ibu

Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan,

Read more

7 Kebiasaan Tidur Sehat ala Rasulullah SAW

Ada tujuh kebiasaan tidur sehat ala Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam yang bisa ditiru. Sudah terbukti, dengan kebiasaan tersebut, Rasulullah selama hidupnya hanya mengalami dua kali sakit.

Selain itu, seperti firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik uswah hasanah (teladan).

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Nah berikut ini 7 kebiasaan tidur sehat ala Rasulullah SAW yang bisa diteladani:

1. Posisi Tidur Miring ke Kanan

Tidur Rasulullah menghadap ke kanan. Dalam HR Al-Bukhari no 247 dan Muslim no 2710, Nabi Muhammad SAW mengatakan agar, “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.”

2. Meletakkan Tangan di Bawah Pipi

Dan dari Hudzaifah ibn al-Yaman ra, dia berkata, “Apabila Nabi SAW hendak tidur pada malam hari, beliau meletakkan tangannya di bawah pipinya.” (HR. Bukhari).

3. Meniupkan Kedua Tangan dan Membaca Doa

Dari Aisyah ra, dia berkata, “Apabila Rasulullah SAW hendak tidur, beliau meniup kedua tangannya dan membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas, lalu beliau mengusap badannya dengan kedua tangannya.” (HR. Bukhari).

Kebiasaan tidur sehat Rasulullah SAW juga sebelum tidur adalah dengan meniupkan kedua tangan dan membaca doa lalu mengusapkan ke seluruh badan.

4. Tidak Tidur Sebelum Isya

Hadis dari Abu Barzah ra, dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah SAW tidak menyukai tidur sebelum Isya dan berbincang-bincang sesudahnya.” (HR. Bukhari).

5. Tidur pada Awal Malam dan Bangun pada Akhir Malam

Aisyah ra berkata, “Beliau tidur pada awal malam dan bangun pada akhir malam kemudian melaksanakan shalat.” (Muttafaq Alaih).

6. Tidur Hanya Beralas Tikar

Abdullah ibn Mas’ud ra berkata, “Rasulullah SAW bisa tidur di atas tikar, dan ketika beliau bangun, tampak bekas guratan tikar pada bahunya. Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin membuatkan kasur untukmu.’ Kata beliau, ‘Apalah artinya dunia ini bagiku? Aku di dunia ini hanyalah laksana seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon, dia beristirahat dan kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi)

7. Tidak Menyukai Tidur Tengkurap

Kebiasaan tidur sehat ala Rasulullah berikutnya adalah dengan tidak dalam posisi tengkurap. Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW melihat seseorang berbaring (tidur) dengan posisi tengkurap, maka beliau pun bersabda, “Ini adalah cara tidur yang tidak disukai oleh Allah.” (HR. Ahmad).

Demikian tuntunan cara tidur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mari kita amalkan dalam aktivitas istirahat kita agar memberikan dampak positif pada setiap rutinitas. Jaga kesehatan ya sobat DPU

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4759003/7-kebiasaan-tidur-sehat-ala-rasulullah-saw-yang-perlu-ditiru/2

Read more

Etika Dagang Dalam Islam

Setiap orang pasti memiliki suatu kebutuhan baik sandang, pangan dan papan. Dan untuk memenuhi semua itu harus melakukan usaha dengan mengeluarkan tenaga, baik tenaga dari fisik maupun dari otak atau pikiran. selain itu semua orang juga membutuhkan sebuah aktivitas ekonomi untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu kita harus melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai sebuah Tujuan Hidup Menurut Islam. Dalam islam seorang pelaku bisnis atau pedagang tidak hanya mencari keuntungan, tapi juga suatu berkah dan rezeki yang diridhai Allah. Keuntungan yang kita harus dapatkan bukan hanya dari segi materil melainkan juga inmateril. Keuntungan materil bisa saja kita dapatkan dalam membuat usaha, namun belum tentu dengan keuntungan inmateril atau dalam segi agama dan kepuasan batin. Selain itu islam juga mengatur urusan jual beli manusia dalam Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam yang sudah ditetapkan. Seperti misalnya dalam urusan Transaksi Ekonomi dalam Islam,  Tujuan Ekonomi Islam, bagaimana Ekonomi Dalam Islam, serta Hukum Ekonomi Syariah Menurut Islam, dan Macam-macam Riba. Islam sudah mengatur bagaimana cara beretika dalam jual beli dalam Qur’an dan Sunna Rasulullah

1. Jujur

Dalam sebuah bisnis islam customer adalah raja, dan sebagaimana mestinya seorang raja harus diperlakukan secara khusus. Hal ini menyangkut bagaimana pelayanan kita kepada mereka, para customer akan merasa lebih nyaman jika kita dapat memberikan service yang memuaskan. Bahkan terkadang mereka tidak akan memperdulikan perbedaan harga melainkan service yang kita berikan. Dalam sebuah perdagangan, kejujuran adalah hal yang sangat penting.

Kejujuran harus menjadi sebuah prinsip dagang bagi seorang pengusaha muslim. Namun seorang pedagang atau pengusaha biasanya merasa kesulitan dalam melakukan hal ini. Jadilah pengusaha yang menjaga kejujuran pada setiap customer, ikutilah cara berdagang yang telah dicontohkan oleh Rasul kita. Menjadi seorang pedagang yang seperti Rasulullah contoh kan bukanlah hal yang mudah, terutama di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Segala macam cara menjadi halal digunakan semata-mata hanya demi keuntungan satu pihak. Jangankan seorang pedagang, pejabat pun sanggup untuk melakukan penghianatan korupsi demi menuruti nafsu duniawi.

Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183

أَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُخْسِرِينَ – وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ – وَلَا تَبْخَسُوا۟ ٱلنَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”

2. Menjual Barang yang Halal.

Allah telah mengingatkan dengan tegas tentang prinsip halal dan haramnya sesuatu dalam perdagangan. Allah telah menetapkan prinsip halal dan haram dalam Qur’an. Oleh sebab itu sebagai umat muslim yang melakukan perdagangan kita wajib mengetahui asal muasal dari apa yang kita perjual belikan

3. Menjual Barang Dengan Kualitas Yang Baik

Sebagai seorang pedagang kita harus tetap jujur dan memperhatikan kehalalan dari barang yang kita jual. Selain itu kita juga memperhatikan bagaimana kualitas barang yang kita jual, apakah mutunya sudah baik ataukah kurang layak untuk kita jual kepada customers. Kualitas suatu barang yang kita jual menjadi tanggung jawab kita sebagai pedagang. Oleh sebab itu kita harus memberikan penjelasan tentang bagaimana kualitas suatu barang yang kita jual dan berapa kuantitas barang yang kita jual pada customers.

4. Tidak Menyembunyikan Cacat Pada Barang

Sebagai seorang pedagang sudah seharusnya kita menerangkan tentang bagaimana kualitas suatu barang. Tapi tidak hanya itu karena jika barang yang kita jual memiliki cacat, maka tugas kita sebagai penjual harus mampu memberi tahu pada customer tentang cacat barang tersebut.

5. Tidak Memberikan Janji Atau Sumpah Palsu

Jika kita pergi kesuatu pasar atau katakanlah kaki lima. Sering kali kita mendengarkan seorang pedagang mengucapkan janji atau sumpah tentang kualitas barang yang ia jual. Seperti misalnya “ barang dijamin tidak mudah rusak “ / “ sumpah paling murah neng “ kata-kata yang seperti itu termasuk dalam janji atau sumpah yang akan menjadi tanggung jawab kita bahkan hingga di akhirat kelak, oleh sebab itu Rasulullah bersabda:

حَدَّثَنَا یَحْیَى بْنُ بُكَیْرٍ حَدَّثَنَا اللَّیْثُ عَنْ یُونُسَ عَنْ ابْنِ شِھَابٍ قَالَ ابْنُ الْمُسَیَّبِ إِنَّ أَبَا ھُرَیْرَةَ رَضِيَ اللَّھُ عَنْھُ قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّھِ صَلَّى اللَّھُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ یَقُولُ الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ     لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab berkata, Ibnu Al Musayyab bahwa Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sumpah itu melariskan dagangan jual beli namun menghilangkan barakah”

Menjaga etika jual beli dalam islam merupakan keutamaan dalam sebuah bisnis atau perdagangan. Dengan menaati prinsip atau  Fiqih Muammalah Jual Beli membuat kehidupan seorang pedagang lebih tentram

Sumber: https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/etika-jual-beli-dalam-ekonomi-islam

Read more

Akhlak Mulia dan Tutur Kata yang Baik Memberatkan Timbangan

Ada lagi satu amalan yang berpahala besar dan berat dalam timbangan. Apa itu? Yaitu akhlak mulia dan berkata yang baik.

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlaq yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2134. Syaikh Al-Abani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jaami’ no. 5726.)

Dalam riwayat Tirmidzi—haditsnya dinyatakan hasan shahih—disebutkan pula hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ المُؤْمِنِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ، وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الفَاحِشُ البَذِي

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat selain akhlaknya yang baik. Allah sangat membenci orang yang kata-katanya kasar dan kotor.”

 

Faedah hadits:

1- Contoh husnul khuluq atau berakhlak yang baik sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah bin Al-Mubarak adalah:

  • senyum manis
  • melakukan yang makruf (kebajikan)
  • menghilangkan gangguan

2- Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah yang berat pahalanya dalam mizan (timbangan).

3- Allah mencintai dan meridhai orang yang berakhlak mulia.

4- Al-fahisy yang dimaksud dalam hadits adalah orang yang mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar atau perkataan yang tidak pantas. Al-badzi adalah orang yang berkata kotor. Jadi, orang yang bisa menjaga perkataannya adalah orang yang akan berat timbangannya.

5- Mizan (timbangan) amalan itu ada dan wajib diimani.

Sumber : https://rumaysho.com/16991-akhlak-mulia-dan-tutur-kata-yang-baik-memberatkan-timbangan.html

Read more

Abu Jahal Pun Berdo’a

Sehari sebelum perang Badar berkecamuk, Abu Jahal (atau Abu Al-Hakam menurut julukan orang-orang musyrik Mekah) sempat berdoa dengan redaksi sebagai berikut,

اللَّهُمَّ أَقْطَعُنَا الرَّحِمَ وَآتَانَا بِمَا لَا نَعْرِفُهُ فَأَحِنْهُ الْغَدَاةَ

“Ya Allah, orang yang paling memutuskan tali silaturahmi di antara kami dan yang paling membawa (gagasan/ide) teraneh (pemikiran paling bid’ah) yang tidak kami kenal, maka binasakanlah dia esok hari”

Ini adalah doa “mubahalah” ala Abu Jahal. Dia bermaksud meminta kepada Allah agar membinasakan siapa yang tersesat, apakah kelompoknya di kalangan pasukan Quraisy ataukah kelompok kaum muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad ﷺ.

Akhirnya sejarah mencatat bahwa Abu Jahal tewas dalam perang Badar dan kaum musyrik Quraisy kalah secara memalukan dalam pertempuran tersebut.

Kisah ini terekam dalam Musnad AhmadMushonnaf Ibnu Abi SyaibahSiroh Ibnu HisyamAr-Rohiqu Al-Makhtum dan kitab-kitab siroh Nabi ﷺ yang lain.

Ada beberapa pelajaran penting berdasarkan kisah Abu Jahal ini. Di antaranya,

Pertama, makna kafir itu bukan dibatasi pada orang yang tidak percaya Allah saja. Abu Jahal percaya kepada Allah, bahkan berdoa kepada-Nya. Kendati demikian Allah dan Rasul-Nya menyebut Abu Jahal kafir.

Kedua, makna kafir bukan dibatasi pada orang yang tidak beragama saja. Abu Jahal beragama. Percaya kepada Tuhan dan beribadah kepadanl-Nya. Orang yang mengakui adanya Tuhan, mengenal Tuhan dan bahkan beribadah menyembah-Nya bertahun-tahun bisa jadi tetap jatuh pada kekafiran. Buktinya Iblis. Makhluk ini adalah tipikal orang yang percaya Tuhan, mengenalnya, bahkan bisa “berdialog” dengan-Nya, serta menyembah-Nya mungkin selama ribuan tahun. Namun gara-gara arogansi dan pembangkangannya, Allah memurkainya dan mencapnya sebagai kafir.

Ketiga, orang yang jelas dalam kesesatan kadang tidak menyadari kesalahannya. Dia terus merasa dalam kebenaran sampai menjelang kematiannya. Abu Jahal tidak merasa dirinya salah. Malah dengan sangat percaya diri berdoa kepada Allah untuk membinasakan orang yang justru berada dalam kebenaran dan dicintai Allah.

Keempat, orang tersesat pun memiliki standar-standar “kebenaran” yang ia yakini dan perjuangkan. Pada doa Abu Jahal tadi, dia meyakini bahwa memutus silaturrahim adalah salah. Dia juga meyakini bahwa menggagas ide baru yang merusak adalah mengacaukan masyarakat. Dia melihat orang yang masuk Islam kadang hubungannya menjadi renggang dengan kerabatnya, suami terpisah dengan istrinya, orang tua terpisah dengan anaknya, paman bermusuhan dengan keponakannya dan sebagainya. “gagasan baru” Muhammad menurut Abu Jahal membawa perpecahan, mengusik kedamaian dan menimbulkan problem “disintegrasi”.

Kelima, kalau begitu, bagaimana menjamin diri memperoleh standar kebenaran sejati? Rasulullah ﷺ dan para shahabat jelas benar dan diridhai Allah. Abu Jahal dan kawan-kawannya jelas kafir dan dimurkai Allah. Oleh karena itu, hal ini memberi petunjuk sederhana bahwa ukuran menilai kebenaran harus dikembalikan kepada wahyu. Kesalahan Abu Jahal adalah tidak mau beriman kepada Rasulullah ﷺ sehingga standar salah-benar yang ia miliki adalah pertimbangan akalnya sendiri, bukan wahyu dari Allah. Rasulullah ﷺ dan para Shahabat berada dalam kebenaran karena mereka percaya kepada wahyu yang turun kepada Rasulullah ﷺ dan menjadikannya sebagai standar dalam menilai salah-benar.

Keenam, definisi kafir dalam konteks beragama yang diajarkan Islam adalah orang yang tidak mau mempercayai Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah dan mengikutinya. Abu Jahal disebut kafir bukan karena tidak percaya Tuhan, tetapi tidak mau percaya kepada Muhammad ﷺ sebagai Nabi dan Utusan Allah. Maka semua agama selain Islam pemeluknya disebut kafir karena faktor ini.

Ketujuh, kadang perdebatan antara orang yang berada dalam kebenaran dengan orang yang berada dalam kesesatan tidak selesai pada tataran dialog pemikiran saja, tetapi diselesaikan dengan saling mendoakan laknat atau yang disebut dengan istilah Mubahalah. Pada level ini orang yang yakin berada dalam kebenaran tidak pernah ragu selangkahpun untuk menyambut tantangan Mubahalah.

Kedelapan, benturan antara kebenaran dan kebatilan jangan disangka akan berhenti pada level pemikiran dan dialog semata. Sejarah menunjukkan, kadang pertempuran dua pemikiran itu pada akhirnya mencapai konfrontasi fisik juga.

#######

Muafa
19 Rabi’u Ats-Tsani 1438 H

 

Sumber: http://irtaqi.net

Read more

Bersegera dalam kebaikan

Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Salah satu pelajaran yang terkandung dalam hadis yang diriwayat dari Abu Hurairah di atas, menganjurkan kepada kita untuk bersegera bersedekah dan melakukan amal-amal baik lainnya. Tegasnya, berbuat baik jangan ditunda-tunda. Harus segera dilaksanakan.

Hal ini selaras dengan firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.”

Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Perlahan-lahan dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat.” (H.R. Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim).

Bila kita menunda-nunda amal kebaikan bisa menjadikan amal baik yang akan kita lakukan itu tidak terlaksana. Itu karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput diri kita.

Dalam Rangka Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan 1439 Hijriyah. LAZ DPU KALTIM CAB.SMD Melaksanakan Sosialisasi Zakat,Infaq & Sedekah dan Program Program Ramadhan Berkah. Antusias yang begitu tinggi dari pengunjung GOR MADYA SEMPAJA mulai dari konsultasi hingga berdonasi.Terimakasih donatur atas kepercayaan donasi anda kepada kami.

Order dan pesan mulai dari sekarang program Ramadhan pilihan anda dan akan kami salurkan pada Bulan Suci Ramadhan.

Program Ramadhan Berkah LAZ DPU KALTIM:
Buka Puasa Donasi mulai Rp.50.000
Bingkisan Lebaran Donasi mulai Rp.175.000
Wisata Belanja Donasi mulai Rp.175.000
Tebar Qur’an Donasi mulai Rp.25.000

Tunaikan Zakat, Infaq/Sedekah anda melalui LAZ DPU KALTIM.
TELP Kantor DPU SMD 0541-7773654
SMS/WA: 0811 5555 200
Layanan Jemput Zakat hub: 0811 5555 200
Layanan Transfer Rekening Via Mandiri Syariah an. DPU KALTIM – 041 0060 316

*RamadhanBerkah*
*Harmoni Ramadhan Menebar Cinta*
*LAZDPUKALTIM*
*LEMBAGA ZAKAT ORANG KALTIM*
*BERDAYA DAN MANDIRI*

Read more

TELADAN KEIKHLASAN SHAHABAT SAAT DIKOREKSI

Tidak semua orang sanggup untuk rendah hati dan mengakui kesalahan jika dikoreksi.

Umumnya gengsi, apalagi jika sudah tenar.

Memang tidak tenar itu kadang-kadang menjadi berkah tersendiri, karena seseorang itu jika sudah populer, justru seringkali ia susah dikoreksi dan dinasihati.

Apalagi jika pihak yang dikoreksi itu sudah mewujud menjadi organisasi/komunitas/afiliasi. Godaan untuk menolak koreksi biasanya lebih besar karena umumnya organisasi memiliki kepentingan lebih besar untuk tetap tercitra baik, atau bahkan tercitra “sempurna”.

Sikap semacam itu sebenarnya cerminan akhlak buruk sekaligus membuat penontonnya khawatir bahwa amalnya selama ini dilakukan bukan karena Allah.

Seorang hamba yang salih tidak pernah merasa malu mengatakan, “saya salah”, jika memang salah. Dia tidak pernah takut kehilangan pengikut, kehilangan fans, kehilangan pengagum, kehilangan dunia apapun karena dia memang tidak mengejar itu semua dalam beramal. Yang paling ia takutkan hanya satu: murka Allah. Dia akan sangat takut mengatakan sesuatu terkait perkara dien yang ternyata terbukti keliru dan membuat Allah murka karena menyesatkan banyak manusia.

Contoh hamba salih yang tidak anti koreksi yang layak kita teladani adalah shahabat Nabi ﷺ yang mulia yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari. Kisahnya dituturkan Al-Bukhari dalam sahihnya sebagai berikut.

سُئِلَ أَبُو مُوسَى عَنْ بِنْتٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ فَقَالَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَسَيُتَابِعُنِي فَسُئِلَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأُخْبِرَ بِقَوْلِ أَبِي مُوسَى فَقَالَ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُهْتَدِينَ أَقْضِي فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِيُّ  لِلْابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ ابْنٍ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ فَأَتَيْنَا أَبَا مُوسَى فَأَخْبَرْنَاهُ بِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ لَا تَسْأَلُونِي مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ

“Abu Musa pernah ditanya tentang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan, maka dia menjawab; ‘Anak perempuan mendapatkan separuh, saudara perempuan mendapatkan separuh, dan datanglah kepada Ibnu Mas’ud, niscaya dia akan sepakat denganku’. Ibnu Mas’ud kemudian ditanya dan diberi kabar dengan ucapan Abu Musa, maka ia berujar; ‘Kalau begitu aku telah sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, saya akan memutuskan masalah itu dengan ketetapan yang diputuskan oleh Nabi ﷺ, putri mendapatkan setengah, putri putra mendapatkan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya bagi saudara perempuan.’ Maka kami datang kepada Abu Musa dan kami mengabarkan kepadanya dengan ucapan Ibnu Mas’ud, maka ia berkata; ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama orang alim ini berada ditengah-tengah kalian’” (Al-Bukhari, 1987: 461).

Dalam hadis di atas, diceritakan bagaimana Abu Musa Al-Asy’ari ditanya tentang sebuah kasus waris. Fatwa yang dibutuhkan adalah penjelasan bagian waris ketika mayit meninggalkan 3 orang kerabat yaitu “bintun” (putri), “bintu ibnin” (putri dari putra) dan “ukhtun” (saudari). Abu Musa langsung berfatwa bahwa putri mendapatkan setengah dan saudari mendapatkan sisanya yaitu setengah. Putri dari putra dalam hal ini gugur karena ada putri, menurut pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Barangkali Abu Musa berpegang pada umumnya ayat bahwa yang mendapatkan jatah waris hanya putri langsung dari mayit, sementara cucu putri dari jalur anak laki-laki tidak dianggap putri karena meskipun bisa disebut “bintun” (putri) secara bahasa, tetapi statusnya adalah putri majasi.

Namun, setelah kasus itu ditanyakan kepada shahabat lain yaitu Ibnu Mas’ud, ternyata penyelesaian Abu Musa dikoreksi. Menurut pengetahuan Ibnu Mas’ud, cara penyelesaian kasus waris itu sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ adalah tetap memberi bagian untuk “bintu ibnin” dalam kapasitas sebagai “bintun” majasi, dan tidak diangkat sampai selevel “bintun” hakiki. Oleh karena bagian dua orang putri menurut Al-Qur’an adalah 2/3, maka antara “bintun” dan “bintu ibnin” pada kasus ini juga harus mendapatkan 2/3. Kendati demikian, porsinya tidak sama. “Bintun” hakiki mendapatkan ½ karena dia adalah putri langsung dari mayit. Sementara “bintu ibnin” mendapatkan bagian penyempurna untuk mencapai jatah 2/3. Dengan demikian kasus yang ditanyakan tadi diselesaikan dengan membagi jatah warisan sebagai berikut: “bintun” mendapatkan ½, “bintu ibnin” mendapatkan 1/6 sebagai penyempurna 2/3, dan “ukhtun” mendapatkan sisanya karena berposisi sebagai “ashobah” dengan adanya “bintun”, yaitu 1/3.

Setelah Abu Musa Al-Asy’ari dikoreksi oleh Ibnu Mas’ud, beliau tidak tersinggung, tidak marah, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa dihina dan tidak merasa direndahkan, tetapi beliau malah merespon dengan kalimat yang menunjukkan akhlak dan budi luhur luar biasa, beliau mengatakan,

لَا تَسْأَلُونِي مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ

“..Ia (Abu Musa) berkata; ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama orang alim ini berada ditengah-tengah kalian…”

Luarbiasa!

Lihatlah, alangkah indahnya akhlak shahabat Nabi ﷺ. Ketika dikoreksi bisa berlapang dada dan bahkan malah memuji Ibnu Mas’ud dan mengakui keilmuan Ibnu Mas’ud berada di atasnya.

Di zaman sekarang, jika seseorang sudah kadung di”ustaz”kan, di”syaikh”kan, di”ulama”kan, di”kyai”kan, di”gus”kan, sudah tersohor, dan sudah punya pengikut yang banyak, apakah masih mungkin mengikuti teladan dan akhlak mulia seperti Abu Musa Al-Asy’ari di atas?

Yah, insyaallah masih mungkin.

Tapi tentu saja, yang sanggup melakukan akhlak seindah itu hanyalah mereka para hamba-hamba Allah yang salih, yang ikhlas, yang beramal semata-mata karena-Nya. Mereka beramal untuk menyenangkan-Nya dan meraih ridha-Nya, bukan untuk memburu dunia dan tidak mengejar tepuk tangan manusia.

اللهم اجعلنا منهم
اللهم اجعلنا من عبادك المخلصين
sumber. http://irtaqi.net
Read more

Besar Kasih Sayang Allah pada Manusia

https://steemit.com/photography/@leohafeez/photography

Allah senantiasa memberi kasih sayang pada manusia. Dia Maha Penerima Taubat dari segala keburukan yang pernah dilakukan manusia.

dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “Tatkala Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan nasib makhluk-Nya, Dia menetapkan, ‘Rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda, “Tatkala Allah menetapkan nasib makhluk-Nya, Dia menetapkan bagi diri-Nya di atas Arsy-Nya, ‘Sesungguhnya, rahmat-Ku lebih cepat daripada amarah-Ku.”

Apabila kita perhatikan kalimat “Rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku” dan “Sesungguhnya, rahmat-Ku lebih cepat daripada amarah-Ku”, mengandung makna yang sama, yaitu Allah Yang Maha Kuasa ingin menunjukkan bahwa kasih sayang-Nya lebih luas, besar, dan lebih cepat daripada amarah-Nya. Sebab, kasih sayang merupakan konsekuensi langsung dari sifat yang melekat pada diri-Nya, yakni ar-Rahman dan ar-Rahim. Sedangkan amarah-Nya berasal dari perbuatan hamba-Nya. Ini artinya, Allah ingin menegaskan bahwa rahmat-Nya tak akan pernah habis dan selalu ada bagi setiap hamba yang sangat membutuhkan-Nya.

Setiap saat, Allah Yang Maha Kuasa mencontohkan dan mengajarkan sifat kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk, baik yang berada di langit, bumi, laut, sungai, dan lain sebagainya, dengan cara memperlihatkan kebebasan absolut yang diberikan kepada Adam dan seluruh keturunannya.

Akan tetapi, setelah mendapatkan banyak kebebasan, manusia lupa dan tidak sadar bahwa setiap kebebasan itu berbatasan dengan kebebasan yang lain. Dengan kata lain, kebebasan tersebut ada batasnya. Boleh jadi, ini disebabkan mereka terlalu banyak bermain-main (sibuk dengan urusan dunia) dan bermalas-malasan di dunia ini.

Mengenai ini, Allah menegaskannya dalam firman-Nya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan, di akhirat (nanti), ada azab yang keras dan ampunan dari Allah, serta keridhaan-Nya. Dan, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadiid [57]: 20).

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Dan, tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan, sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabut [29]: 64).

Hal seperti itulah yang kemudian membuat seluruh makhluk, baik yang berada di langit, bumi, laut, sungai, marah dan tidak terima dengan yang dilakukan manusia. Terkait ini, dalam sebuah kisah pernah disebutkan bahwa setiap hari, lautan meminta izin kepada Allah Yang Maha Kuasa, “Wahai Tuhanku, izinkan aku menenggelamkan anak Adam. Sebab, mereka memakan rezeki-Mu, namun menyembah selain diri-Mu.”

Langit juga berkata, “Wahai Tuhanku, izinkan aku menggerus anak Adam. Sebab, mereka memakan rezeki-Mu, tetapi menyembah selain diri-Mu.”

Sementara itu, bumi juga berkata, “Wahai Tuhanku, izinkan aku menelan anak Adam. Sebab, mereka memakan rezeki-Mu, namun menyembah selain diri-Mu.”

Akan tetapi, Allah Yang Maha Kuasa berfirman, “Biarkanlah mereka! Sebab, jika kalian menciptakan mereka, maka kalian juga pasti akan mengasihi mereka.

Dalam kisah yang lain juga disebutkan bahwa setiap hari matahari terbit, langit berkata, “Wahai Tuhanku, izinkan aku menurunkan gerhana kepada anak Adam. Sebab, mereka telah memakan makanan terbaik-Mu, namun tidak mau bersyukur kepada-Mu.”

Gunung juga berkata, “Wahai Tuhanku, izinkan aku menimpa anak Adam. Sebab, mereka telah memakan makanan terbaik-Mu, namun tidak mau bersyukur kepada-Mu.”

Akan tetapi, Allah Yang Maha Kuasa berfirman, “Biarkan mereka, biarkan mereka! Seandainya kalian yang menciptakan mereka, tentu kalian pun akan mengasihi mereka. Mereka adalah hamba-hamba-Ku. Jika mereka bertaubat kepada-Ku, Aku akan mencintai mereka. Namun, jika mereka tidak mau bertaubat, Aku menjadi dokter bagi mereka.

Tidak hanya itu, para malaikat juga sempat bertanya pada Allah Yang Maha Kuasa saat hendakmenciptakan manusia. Malaikat mengetahui bahwa manusia akan berbuat kerusakan di bumi. Namun, apa tanggapan-Nya terhadap sikap para malaikat itu?

Pernyataan Allah diceritakan dalam firman-Nya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah [2]: 30).*/Ust. Yazid al-Busthomi, dari bukunya Dahsyat Energi Tahajjud.

Rep: Admin Hidcom

Editor: Syaiful Irwan

sumber. https://www.hidayatullah.com

Read more